DRAMA YAYASAN HAMBA (8) | Hari ini, Kamis 23 November 2023 lepas ashar telah dilakukan serah-terima kunci 6 bangunan dan lahan lebih dari 3.000 meter persegi dari Yayasan HaMba ke Yayasan Aulia.
Ini suatu peristiwa yang menandai kemenangan prosedural hukum versus kebenaran sejarah berdirinya kedua Yayasan yang didirikan Ibu Lestari Projosuto.
Saya sudah menuliskannya secara serial mengenai sejarah perolehan tanah dan bangunan ini dalam Drama Yayasan HaMba 1-9.
Sebagai relawan (2014-2019) yang pernah mengupayakan konsultasi bantuan hukum bahkan sampai ke PKBH UGM, saya merasa getir.
Orang semulia Ibu Lestari Projosuto harus kalah oleh ketamakan yang tak pernah adil, kalah oleh keserakahan berbungkus aturan hukum. Dan oleh orang-orang yang selama ini berkecimpung di ranah yang katanya mengemban misi kemanusiaan.
Tragis dan ironis.
Daripada Kehilangan Ibu Asuh. “Simbar menjangan ini mestinya ikut pindah ….” Di halaman Yayasan HaMba di Katen, Pakem, kemarin sore saya nggrememeng. Punya saya butuh empat tahun untuk menjadi seperti ini dengan tiap hari harus disiram, batin saya.
“Ah saya tak sempat mikir yang kecil-kecil begini ….” Saya merasa tertampar. Betapa malu dan bodohnya saya. Saya menengok. Oh suara Pak Nyadi, yang dua tahun ini menjadi ketua Yayasan HaMba.
Sore kemarin saatnya Pak Nyadi menyerahkan kunci enam bangunan Yayasan HaMba ke tim penasihat hukum Yayasan Aulia. Dalam sengketa perdata perebutan aset ini Yayasan Aulia mengerahkan tim penasiat hukum terdiri dari empat orang melawan Yayasan HamBa dengan pengurus baru yang didampingi seorang penasihat hukum.
Ketika menandatangani berita acara penyerahan aset sebulan yang lalu Pak Nyadi belum punya bayangan akan tinggal dimana 23 anak asuh Yayasan HaMba. “Sambil tandatangan saya mikir, anak-anakku akan berteduh dimana …,” kata Pak Nyadi.
Secara prosedur administrasi hukum (di atas kertas) Yayasan Aulia memang menang. Tetapi kasus perdata ini sungguh tidak adil. Ibarat pembagian gono-gini, Ibu Lestari telah kehilangan aset yang seharusnya menjadi haknya hanya karena kenaifannya dimanfaatkan oleh lawannya, yang sebelumnya telah menjadi mitranya selama 34 tahun sejak 1978 hingga 2012 ketika muncul persoalan perdata.
Ibarat pernikahan, dua pendiri Yayasan Aulia seharusnya membubarkan yayasan dan kemudian berbagi aset. Namun ini tidak dilakukan, malah Ibu Lestari disodori blanko yang ternyata surat pengunduran diri sebagai pembina Yayasan Aulia di suatu malam hari secara personal oleh putra sang mitra yang telah dianggap sebagai putera sendiri oleh Ibu Lestari, tanpa saksi, juga tanpa menerima copy. Ini adalah kenaifan Ibu Lestari yang ke-2, yang menghapus seluruh hak Ibu Lestari termasuk hak untuk mengusulkan pembubaran yayasan. Maka seluruh aset bisa diklaim oleh Yayasan Aulia.
Saya akan terus mengulang kisah ini demi memuliakan karya kemanusiaan Ibu Lestari Projosuto dan kesejatian, agar dunia tahu bahwa pemenang belum tentu benar secara moral. Karena hidup secara keseluruhan tidak bisa disederhanakan oleh lembar-lembar kertas yang bisa digunakan untuk mengusir karya kemanusiaan Ibu Lestari Projosuto.
(Untuk selengkapnya bisa dibaca dalam seri Drama Yayasan HaMba sebelumnya).
Pada intinya, dalam kasus perdata ini, Ibu Lestari telah kehilangan aset yang diupayakan oleh donor, yaitu Stichting Lestari di Belanda, sebuah yayasan yang menggunakan nama Ibu Lestari dan menggunakan foto wajah Ibu Lestari sebagai logo guna menggalang dana untuk mendukung karya sosial-kemanusiaan oleh Ibu Lestari Projosuto yang adalah pendiri Yayasan Aulia.
Memang Yayasan Aulia menawarkan Yayasan HaMba bisa tetap menempati lahan dan gedung-gedung yang disengketakan, namun dengan syarat yang tidak mungkin dipenuhi Yayasan HaMba, yaitu: memecat para ibu asuh dan menggantinya sesuai kemauan Yayasan Aulia.
Yayasan HaMba tidak mungkin tanpa Mak Thres (Sri Sugiyarti Theresia) yang telah melakukan karya sosial-kemanusiaan bersama Ibu Lestari sejak tahun 1990 di Jakarta dan paling banyak mendapat pujian dari para alumni sebagai ibu asuh yang berintegritas. Ibu Thres pada pada kenyataannya adalah sosok terpenting yang membuat Yayasan HaMba memenangkan lomba SNPA (Standar Nasional Pengasuhan Anak) tingkat provinsi dan nasional.
Demikianlah, sehingga pengurus Yayasan HaMba memilih menyerahkan aset tanah dan bangunan daripada kehilangan seluruh aset terpenting: para ibu asuh.
Ibu Lestari juga heran, kok bisa mitra lamanya tega melakukan hal ini. “Dulu dia tidak seperti ini …,” kata Ibu Lestari. Tetapi sebagaimana Pak Nyadi, Ibu Lestari juga meyakini bahwa Yayasan HaMba adalah wujud karya Tuhan dan karenanya akan menemukan jalan pada waktunya.
Dan benar, dalam waktu seminggu sejak penanda-tanganan berita acara penyerahan aset sebulan lalu, Yayasan HaMba telah menerima uluran tangan sesuai kebutuhan. Mbak Witri yang sedang di Jogja langsung membuatkan proposal sehingga Save the Children Indonesia mencairkan dana transisi, Pak Joko di Dero menawarkan rumahnya untuk menampung anak-anak, pemilik gudang di Katen memberikan ruang untuk menyimpan barang-barang besar milik Yayasan HaMba.
“Kami harus fokus memikirkan nasib anak-anak ke depan, jangan sampai terulang kasus seperti ini,” kata Pak Nyadi. Saya tahu arah kata-kata Pak Nyadi. Siap, Pak! Bercerita kepada dunia adalah tugas saya. (Selesai sampai di sini sesi Drama Yayasan Hamba, selanjutnya adalah melanjutkan sayap malaikat itu dalam membangun kasih-sayang dalam Rumah Lestari).
(Nusya Kuswantin)
.