DRAMA YAYASAN HAMBA (1) | Suatu kali di minggu ke-2 bulan Juli 2017, Mbak Witrijani — seorang kawan dari Save the Children Jogja yang dalam pergaulan kesehariannya mengenakan busana tertutup rapat berupa gamis dan burqa berwarna hitam — mengirimi saya sebuah link melalui WhatsApp dengan pesan bahwa saya bisa mengajukan data Ibu Lestari untuk dicalonkan sebagai salah satu penerima penghargaan Ashoka.
Tanpa berpikir panjang saya langsung mengisi formulir, karena batas waktu yang disediakan tinggal sehari lagi.
Saya tahu Ibu Lestari tak akan suka dengan ide ini. Namun waktu itu kami sedang meminta jasa pendampingan seorang advokat sehubungan diadukannya Yayasan HaMba ke Dinas Sosial DIY oleh pihak lain dengan tuduhan telah menduduki lahan yang bukan milik sendiri, dan ternyata tarif advokat tersebut sangat tinggi, yaitu hanya untuk sekali pertemuan saja tarifnya lebih dari dua kali uang saku bulanan yang diterimakan kepada ibu asuh paling senior di Yayasan HaMba dengan masa bakti lebih dari 25 tahun.
Saya berpikir, andai bisa mendapatkan penghargaan berupa uang, maka akan bisa digunakan untuk membayar advokat beberapa kali pendampingan. Waktu itu, masalah uang membayar advokat ini membuat kami prihatin, mengingat Ibu Lestari mengupayakannya dengan cara hendak menjual rumah pribadinya di Jalan Samirono Baru 25A yang diwarisi dari keluarganya. Kami gusar, karena masalah lembaga tidak seharusnya diatasi dengan menggunakan harta pribadi kendati milik pendiri yayasan sekalipun. Dengan pikiran seperti itu maka dorongan Mbak Witri saya tanggapi dengan segera.
Sayangnya isian formulir memuat satu syarat yang mau-tak-mau pengusulan ini tak bisa kulakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu Lestari: yaitu karena perlu profil Ibu Lestari secara audio-visual. Maka, tak ada cara lain kecuali saya harus meminta Ibu berkenan diambil gambarnya. Untunglah Ibu berkenan diambil gambarnya, dan kami melakukannya dengan cepat, lantas buru-buru pamit untuk menghindari obrolan yang saya khawatirkan bisa mengarah pada ketidaksetujuan beliau.
Namun, esok paginya tanggal 11 Juli 2017 subuh, yang saya khawatirkan terjadi. Saya menerima pesan dari Ibu Lestari melalui WA sebagai berikut:
LP: Mbak Nusya selamat pagi, terimakasih sedalam-dalamnya atas kehendak baik serta kerja keras Anda untuk mencari dana melalui Ashoka. Akan tetapi janganlah memakai saya untuk tujuan seperti itu, biarpun untuk bayar lawyer. Jangan, Mbak Nusya, sekali lagi JANGAN. Melalui jual rumah, barang antik peninggalan Eyang Asri saja.
Cara hidup yang Anda mau jual hanyalah penilaian manusia. Hanya Tuhan-lah yang berhak menilai saya. Hidup kita, cara hidup kita, cara hidup saya, tak layak, tak pantas, untuk dijual karena itu adalah karya Tuhan dalam diriku/kita. Walaupun dengan jatuh-bangun. Sekali lagi dengan penuh terimakasih saya mohon jangan jual saya, jangan jual cara hidup saya. (Emotikon menangis).
NK: Ibu… duh…. Ini bukan soal jual-beli. Ini soal memposisikan seseorang secara layak. Demi apa? Demi keadilan, demi kemanusiaan. Seperti halnya saya yang terusik menyaksikan gaji Mbak Thres yang cuma Rp 1.150.000,- Angka yang kecil untuk pekerjaan besar yang berat, 24 jam sehari, dan telah dilakukan selama 27 tahun penuh dedikasi oleh seorang sarjana. Kalau saya diam saja mengetahui hal ini, maka saya yang tidak adil karena melakukan pembiaran.
Saya tidak sedang menjual cara hidup Ibu dengan cara tidak baik. Ashoka adalah lembaga yang memberi penghargaan kepada orang-orang yang bekerja memberikan dampak positif bagi kehidupan tanpa peduli pada dirinya sendiri. Ada beberapa orang yang saya kenal telah mendapatkan penghargaan ini, antara lain Mas Didit Dananto yang ngurusi anak-anak girli, Mbak Lita Anggraini yang melakukan pendamingan untuk pemberdayaan pekerja rumah tangga, Ni Made Indrawati di Buleleng yang memperjuangkan hak atas tanah bagi masyarakat. Mereka seperti Ibu, bekerja serius dan tekun bukan untuk kepentingan diri-sendiri.
Yang saya lakukan hanyalah mengkomunikasikan dengan pihak lain. Dalam hal ini dengan pihak panitia seleksi di Ashoka, bahwa ada seorang Lestari Projosuto yang saya kira memenuhi kriteria. Hanya itu. Persis yang saya lakukan ketika menulis brosur, menulis tentang HaMba di media sosial. Yang saya lakukan hanyalah memberikan informasi yang benar, agar adil. Uangnya saya kira tidak besar sekali, tapi saya kira bisa untuk membayar lawyer yang mahal itu beberapa kali.
Jadi Ibu, menggunakan istilah “menjual” cara hidup Ibu adalah istilah yang saya kira berlebihan alias, mohon maaf, lebay. Lagi pula, upaya ini belum tentu berhasil. Namun upaya baik saya kira tak perlu dilarang. Kalaupun Ibu tak setuju, saya kira saya tidak sedang melakukan suatu tindakan kriminal. (Emotikon tertawa lebar)
Jadi, saya mohon maaf. Yang saya lakukan bukan demi Ibu, melainkan demi keadilan informasi, dan penghormatan terhadap karya Ibu.
LP: Maaf kalau saya lebay (emotikon tertawa) Mbak Nusya. Saya tidak bisa karena itu tidak mau berdebat mengenai sikap saya tentang hidup “saya”. Sangat berbeda dengan soal gaji … maaf …. Untuk ini saya sangat berterimakasih. Di dalam masyarakat kita banyak yayasan sosial untuk cari uang. Saya pesan kepada Anda, Anda harus berhati-hati dalam hal ini. Brosur mencantumkan nomer rekening mungkin ini hal yang umum. Tetapi untuk saya? Memperlihatkan foto-foto dan cerita-cerita yang menarik belas kasihan. Ini dalam masyarakat istilahnya adalah menjual. (Emotikon gambar hati retak).
Saya telah berusaha minta terus-terang donasi untuk “gaji” saudara-saudari kita tetapi selalu tak berhasil. Saya menyelami peristiwa ini. Ketika membeli tanah dan membangun rumah-rumah untuk anak-anak, saya tidak meminta, namun hanya menyampaikan bahwa saya bermimpi. Saya menyelami peristiwa ini. Ketika LS (Stichting Lestari) bermaksud berhutang untuk mewujudkan mimpi saya, saya menolaknya, dan LS mengiyakan penolakan saya. (Emotikon wajah bermata hati, wajah mencium, bunga mawar, bungan tulip dan gambar hati)
NK: Saya memahami pikiran Ibu dan menghormatinya. Saya kira saya paham apa yang dinamakan sebagai batas. Batas toleransi. Batas kesantunan. Batas harga diri. Saya paham tentang hal ini. Saya tidak menjual kemiskinan. Juga saya tidak suka mengharu-biru minta dikasihani. Andai Ibu membacai tulisan-tulisan saya, maka Ibu akan mengerti. Yang saya tulis adalah tentang keteladanan. Tentang kebajikan tanpa syarat. Ketulusan. Konsistensi. Penerimaan. Kerendahan hati. Itu semua yang ada pada Ibu dan ibu-ibu pengasuh di Yayasan HaMba. Saya menghormati Ibu, juga karya-karya Ibu. Maka saya menuliskannya agar menjadi inspirasi bagi masyarakat yang hedonis.
Begitulah Ibu Lestari Projosuto. Dan memang, sesuai kehendak Ibu Lestari, upaya saya mengajukan nama beliau mendapatkan tanggapan negatif dari panitia seleksi. Dan bukan sekali ini beliau berkeberatan atas itikad saya untuk melakukan penggalangan dana. Ibu Lestari juga pernah tidak berkenan dengan cara saya menyusun proposal anggaran yang diminta oleh sahabat lama yang telah tiga puluh tahun mendukung karya sosial Ibu Lestari sejak zaman Yayasan Amalia di Jakarta, kemudian Yayasa Aulia, dan sekarang Yayasan HaMba.
“Saya malu Mbak Nusya,” itu komentarnya setelah membaca proposal anggaran yang saya susun dengan mencantumkan rincian kegiatan, berapa lama, berapa angka alokasi per unit dan per komponen. Jadi, menurut Ibu sebaiknya bagaimana? Ibu Lestari tertawa. “Terserah yang memberi saja ….”
(Bersambung ke Bagian 2)