Drama Yayasan Hamba

PENGANTAR :

Tahun 2017 adalah saat yang sibuk. Saya harus mengumpulkan dan menyusun secara kronologis dokumen tanah yang ditempati Yayasan Hamba di Pakem, tempat saya jadi relawan mingguan. Sebelum saya tinggal ke Wina untuk satu semester kronologi harus sudah tuntas saya buat. Agar penasihat hukum yang akan dimintai bantuan mudah memahami kasusnya.

Yayasan Hamba yang didirikan Ibu Lestari memang menempati tanah atas nama Yayasan Aulia yang didirikan Ibu Lestari bersama mitra lelakinya. (Gender mesti jelas karena saya curiga persoalan ini muncul karena ego laki-laki dalam relasi penaklukan).

Berdasarkan dokumen dan wawancara lisan yang saya kumpulkan, saya tahu Ibu Lestari bisa menang. Secara moral dan substansi Ibu Lestari tak boleh kalah. Tetapi Ibu Lestari memang naif. Beliau telah mendirikan Yayasan Hamba sebelum Yayasan Aulia dibubarkan oleh para pendiri dan sebelum aset dibagi dua.

Sebelumnya, menurut Ibu Tari, mitranya di Jakarta telah mengajukan ide pecah kongsi karena tersinggung oleh keputusan Ibu Tari membeli tanah, yang disepakati mitra tapi ketika pembelian terjadi tidak melibatkan mitra. Sang mitra yang tak perlu saya sebut namanya memang mengurus Yayasan Aulia yang di Jakarta. Jadi Yayasan Hamba di Pakem dulunya bernama Yayasan Aulia.

Andai mitranya punya itikad baik membubarkan Aulia dan membagi aset, dengan Ibu Lestari dapat bagian aset di Pakem dan mitranya dapat aset di Jakarta (yang jauh lebih besar nilainya), urusan tidak perlu bertele-tele. Toh aset di Pakem memang diberikan oleh donor untuk mendukung Ibu Tari.

Tiba-tiba (pada bulan Nopember 2023) saya dapat kabar Hamba dan anak-anak akan pindah. Mbak Thres meminta maaf padaku, via chat, karena tidak bisa mempertahankan aset yang ditempati. Saya memang berpesan: Jangan pergi dari sini. Hukum tanah memenangkan yang memanfaatkan. Toh ini untuk kemanusiaan. Tapi demikianlah yang terjadi.

Dibutuhkan kesabaran, untuk membaca seri tulisan “Drama Yayasan Hamba’, untuk bisa memahami ‘dhodhok selehe”, duduk-perkara drama perjuangan Yayasan Hamba ini. Maka saya perlu menuliskannya dengan berbagai latar belakang masalahnya, yang tidak muncul dalam ‘penyelesaian’ perkara itu, hingga Yayasan Hamba harus meninggalkan rumah bagi anak-anaknya yang dari sejak 2002 diupayakan dan ditempati. (Nusya Kuswantin)