PENGALAMAN OMA YUSTINA KARTINI | Saya bergabung dengan Ibu Lestari di Jogja pada tahun 1994 akhir. Pada saat itu Mega masih berumur satu setengah tahun. Ya, waktu itu di rumah Samirono ada Mega, Aswin, Akim, Rokhayah, Santi, Parti …. Waktu itu pengasuhnya ada Mbak Yosin, Mbak Warni….Mbak Yosin yang sekarang tinggal di Warak.
Lantas saya mengasuh delapan anak laki-laki. Tapi mereka nurut-nurut. Pagi-pagi mereka gantian belanja ke pasar, ada yang nyabut rumput halaman, ada yang ngosek kamar mandi. Dulu anak-anak nurut. Gampang membimbing mereka. Selain itu juga ada Eni, Yani, Lina, Suhana, Wiwin, Hendrik ….
Dulu kita sempat punya mores – mobil resto – berjualan makanan seperti sayur, gorengan, dengan mobil. Mangkal di depan BTPN kalau tak salah. Yang masak Mbak Retno, mamanya Ida. Yang mengemudikan mobil ya Pak Pri. Ini sudah jamannya Pak Pri. Sebelum Pak Pri, sopir yayasan ganti-ganti. Ada Pak Agus, Mas Oni, Mas Duwi, Mas Parjo, dan terus Pak Pri sampai sekarang. Yang jualan anak-anak. Tetapi kemudian Ibu Lestari tidak setuju, karena kasihan anak-anak, pulang sekolah capek-capek masih disuruh jualan makanan.
Sebelum ke Jogja, saya sempat bekerja di Jakarta. Itu tahun 1992, saya bekerja di rumah Pak Eddy di Kelapa Gading. Rumahnya besar. Saya masak dan teman saya Karmi bersih-bersih lantai atas. Ibu Lestari waktu itu di Sunter Mas. Waktu itu sudah ada Dian, Yose, Benbon ….
Bagaimana saya akhirnya bergabung dengan Ibu Lestari?
Ceritanya saya pergi meninggalkan rumah karena hubungan dengan suami tidak bisa diharapkan lagi. Anak saya empat, yang tiga dari suami terakhir. Suami saya sopir truk, kerjanya di jalan, pendapatan tidak jelas karena ia juga tidak tahan godaan. Suami menjual rumah warisan dari orang-tuanya. Hidup jadi sangat buruk dan terasa berat, karena tak ada tempat untuk berteduh.
Ketika anak-anak masih kecil, saya sempat bekerja sebagai kondektur bis Harjuna jurusan Temanggung-Wonosobo-Magelang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lantas pernah juga saya bekerja di pabrik kaos. Ketika ayah mereka menjual rumah, saya memutuskan mencari kerja. Anak-anak yang masih sekolah saya titipkan ke tetangga di Temanggung. Tapi cucu saya sejak kecil ikut saya karena orangtuanya bercerai. Cucu saya ini, Danang, membuat saya kepikiran. Terpaksa ia saya titipkan ke susteran. Tetapi tiap hari saya diam-diam mengintipnya berangkat sekolah ke TK sambil menangis.
Saya bertemu dengan Ibu Lestari dan Pak Eddy di Rawaseneng ketika saya konsultasi dengan romo di sana. Setelah dua tahun di Jakarta, saya ditanya, apakah saya bisa memegang lima anak? Maksudnya adalah menjadi ibu asuh bagi anak yang tinggal di yayasan yang mereka dirikan. Saya senang sama anak-anak, jadi saya terima tawaran itu. Maka akhir 1994 saya ke Jogja menjadi Ibu asuh.
Di yayasan anak-anak memanggil saya “Oma”, tentu maksudnya adalah nenek. Ketika jadi pengasuh saya bisa mengambil cucu saya yang saya titipkan di susteran. Ya, Tuhan Maha Adil. Karena saya bisa bekerja sambil tetap bisa mengasuh cucu saya.
Ibu Lestari itu malaikat bagi saya. Saya sangat berterimakasih kepada beliau. Beliau tidak pernah meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Hidupnya hanya untuk anak-anak. Siang mengetik, bahkan kadang sampai jam dua malam. Benar-benar malaikat bagi saya dan anak-anak.
Saya senang bekerja di yayasan ini biarpun ada juga yang membuat saya sedih. Misalnya ketika menyaksikan anak yang menolak ibunya. Ini tentang seorang anak yang sudah saya asuh sejak usia enam bulan. Suatu ketika sang ibu kandungnya datang menengok, sang anak menunjukkan sikap takut ketika didekati. Memang sayalah yang selama bertahun-tahun menjadi ibunya, tidur bersamanya, menyuapinya, memandikannya dan menjadi tempatnya menangis. Namun melihat sikap anak yang menolak ibu kandung seperti itu membuat saya juga ikut menangis. Ibu Lestari memang punya prinsip sebaiknya anak tidak dipisahkan dari ibunya. Karena yang terbaik bagi anak adalah bersama ibu kandungnya. Tetapi di yayasan ini banyak anak yang terpaksa harus jauh dari ibunya.
(Sebagai pengasuh senior, Oma berpesan kepada siapa saja yang berkehendak membaktikan hidup dengan menjadi ibu asuh bagi anak-anak di yayasan: “Harus punya hati, harus mengabdi dengan tulus. Hanya dengan begitu kita bisa terhindar dari selisih pendapat dengan rekan-rekan sepengabdian.” Begitulah Oma, yang memiliki empat anak biologis dengan enam cucu dan puluhan anak asuh). – (nk)