Ibu Lestari Projosuto Yang Saya Kenal

Ibu Lestari Projosuto

Oleh: Nusya Kuswantin | Suatu kali di tahun 2014 saya menelpon Mbak Etik Prawahyanti  yang saya tahu mengelola LBH Saraswati, suatu lembaga bantuan hukum untuk perempuan yang didirikan oleh sekelompok aktivis antara lain Mbak Mamik Sri Supatmi (dosen kriminologi UI) dan Mbak Maria Roewiastoeti Suryaalam (yang dulu bekerja di LBH Jakarta dan ditempatkan di Papua). Pada waktu itu saya bermaksud berkonsultasi tentang, dan meminta tolong mengatasi, kasus pemerasan berulang yang menimpa seseorang yang sangat berjasa dalam hidup saya. Mbak Etik meminta saya menemuinya di Pakem, tempatnya sedang melakukan pelayanan sosial, agar kami bisa ngobrol. Ternyata, selain berpraktik sebagai pengacara, saat itu Mbak Etik adalah ketua pengurus Yayasan HaMba, lembaga perlindungan anak yang didirikan oleh Ibu Lestari Projosuto.

Setelah itu saya dan Mbak Etik diam-diam bersepakat melakukan semacam barter: ia membantu menangani kasus yang kulaporkan, dan saya membantunya menerjemahkan dokumen dan surat-surat ke dalam Bahasa Inggris. Ini pekerjaan yang ringan dan bisa kulakukan dimana saja. Namun, mulai tahun 2015, saya meluangkan waktu setiap Sabtu untuk volunteering di Yayasan HaMba. Karena tak selalu ada dokumen yang perlu diterjemahkan, maka saya mulai menulis profil ringkas ibu-ibu pengasuh di yayasan tersebut untuk saya muat di akun Facebook saya. Saya mantan jurnalis, jadi saya paham tentang batas, apa saja yang layak ditulis dan apa saja yang tak layak ditulis untuk publik. Misalnya, saya tidak akan memuat cerita tentang anak-anak asuh di situ karena mereka harus dilindungi. Saya menulis tentang pengalaman para ibu asuh dengan tujuan mengabarkan kebaikan, syukur-syukur potongan-potongan kisah ini menginspirasi pembaca untuk turut serta melakukan kebajikan di lingkungan mereka sendiri. Dan senyatanya saya memang sering tertegun selama ngobrol dengan para ibu asuh itu: betapa mereka teguh bekerja, tanpa mengeluh, kendati uang saku yang mereka terima – menurut pertimbangan saya — sangat kecil untuk beban dan masa kerja mereka yang telah dua dasa warsa bahkan lebih.

Ibu Lestari Projosuto

Saat itu saya hanya mengenal Ibu Lestari selintas saja, karena tidak setiap saya datang ke Pakem berpapasan dengan beliau. Perkenalan kami hanya sebatas berjabat tangan sambil tersenyum dan kepala mengangguk.  Saya mulai mengenal beliau lebih dekat sejak saya – yang tak-bisa-tidak –harus lebih aktif ke Yayasan HaMba sehubungan dengan Mbak Etik tidak lagi memimpin lembaga ini  mulai minggu ke-2 Juni 2016. Saya sempat diminta oleh Ibu Lestari, apakah saya berkenan menggantikan Mbak Etik? Saya paham kekhawatiran Ibu Lestari, karena Yayasan HaMba saat itu menghadapi persoalan sengketa lahan sebagai akibat dari kesepakatan pisah dari Yayasan Aulia yang eksekusinya dilakukan dengan prosedur yang tidak menguntungkan, sehingga ingin yayasan yang beliau dirikan sebaiknya dipimpin orang yang memiliki latar belakang pendidikan hukum. (Saya belajar ilmu hukum ketika S1). Mempertimbangkan berbagai hal, terutama kondisi yayasan saat itu, saya merasa adalah kewajiban moral bagi saya untuk membantu apapun yang saya mampu namun tidak bisa dikerjakan oleh teman-teman pengurus. Ada sekitar 50 anak dari bayi sampai SMK yang sedang diasuh di dalam yayasan, dan ada pribadi-pribadi berdedikasi yang mengurus anak-anak itu, ini adalah alasan yang cukup bagi saya untuk ikut terlibat. Saya menanggapi permintaan Ibu Lestari itu dengan: akan lebih baik bila Yayasan HaMba dipimpin oleh presidium kolektif terdiri dari para ibu asuh yang sudah paham seluk-beluk tugas mengurus anak-anak dan telah belasan tahun bekerja bersama Ibu Lestari.

Sejak itulah saya menjadi bagian dari Yayasan HaMba yang berada di Dukuh Katen, Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yoyakarta itu. Dan saya diam-diam mengamati beliau dan saya meyimpulkan Ibu Lestari adalah pribadi dengan penampilan yang sangat sederhana. Down-to-earth. Pakaian beliau selalu bersahaja. Beliau bercerita, bila pakaiannya bertambah satu, maka akan dilungsurkan satu. Pernah saya melihat Ibu Lestari mengenakan rok terusan batik yang menurut saya bagus, dan ketika saya puji beliau berkata bahwa ro tersebut adalah pemberian. Makan pun beliau merasa harus tandas, tak boleh ada makanan yang tersisa. Kebiasaan di meja makan Yayasan HaMba adalah beliau merupakan orang terakhir yang mengemasi sendok nasi: yaitu dengan membersihkannya sampai tuntas, tanpa ada sebutir pun nasi menempel. Nasi-nasi yang menempel di enthong itu akan disantapnya sendiri, agar tidak menjadi sampah yang dibuang sia-sia.

Tugas saya di Yayasan HaMba adalah mendukung Trio Angela agar tetap kompak dan makin solid. Yang saya sebut dengan Trio Angela adalah tiga perempuan yang menjadi tulang pungung Yayasan HaMba, yaitu Dwi Maryati (yang menguasai urusan administrasi dan keuangan), Konaah Anisasri Melani (yang menguasai urusan pengasuhan dan mobilisasi domestik) dan Sri Sugiyarti Theresia (yang menguasai urusan eksternal berkaitan dengan pengasuhan anak selain juga menguasai konsep-konsep pendidikan dan bimbingan remaja). Saya tak bisa membayangkan betapa ruwetnya apabila salah seorang dari Trio Angela ini tiba-tiba meninggalkan Yayasan HaMba mengingat pentingnya peran mereka sementara program kaderisasi belum tampak dilakukan dengan sungguh-sungguh. 

Pengumpulan Data: Tidak Mudah

Tidak mudah mengorek cerita lama dari Ibu Lestari. Beliau mengaku tidak merasa penting mengingat angka tahun peristiwa-peristiwa tertentu. Padahal saya membutuhkannya untuk melakukan rekonstruksi kronologi. Untuk apa merekonstruksi kronologi aktivitas Ibu Lestari? Bukan, bukan untuk kepentingan buku ini, kendati sejak awal saya berpendapat bahwa biografi Ibu Lestari penting ditulis, namun saya merasa yakin beliau tak akan setuju bila ide ini saya sampaikan. Yang bisa saya ajukan adalah gagasan menulis semacam buku panduan pengasuhan anak. Toh itu pun tak mudah diwujudkan demikian saja, karena yang selama ini dilakukan adalah pengasuhan tailor-made namun tidak terstruktur, melainkan per kasus. Ibu Lestari memang secara khusus telah mendidik Mbak Melani dan Mbak Theresia, yaitu dua sosok ibu pengganti yang paling senior, namun itu diberikan tanpa panduan tertulis, dan juga tidak ditulis. Semuanya dilakukan secara spontan dan by practice.   Antara lain karena dalam pertimbangan saya, panduan pengasuhan anak akan lebih baik disisipkan dalam buku biografi beliau. Dan buku panduan pengasuhan anak tidak membutuhkan catatan sejarah secara kronologis. Dengan trik seperti itu, pada tahun 2016 saya pernah membuat catatan cakar-ayam tentang hal-hal yang diceritakan kepada saya secara lisan dan tidak kronologis.

Saya membutuhkan catatan peristiwa secara kronologis sehubungan dengan tugas saya menyusun sejarah Yayasan HaMba Pakem (yang secara substansial adalah nama baru untuk Yayasan Aulia Yogyakarta). Untuk kepentingan ini saya harus melakukan riset pustaka sekitar sebulan setengah, bahkan sering kali harus saya lakukan sejak pagi hingga malam. Selain membacai berbagai dokumen, email, notulen rapat, akta notaris, berbagai surat pernyataan, saya juga merasa perlu melakukan konfirmasi kepada orang-orang yang telah bekerja bersama Ibu Lestari belasan tahun lamanya.

Dari sanalah saya merekonstruksi sejarah Ibu Lestari, lantas saya cocokkan dengan cerita-cerita yang dikisahkan oleh narasumber-narasumber yang lain ketika pada minggu ke-2 bulan Maret 2018 saya mengasisteni Mas Sunardian Wirodono mengambil gambar filem ucapan selamat ulang tahun untuk Ibu Lestari dimana kami, bersama Mbak Kona’ah Anisasri Melani sebagai “pembuka pintu”, menemui sejumlah  anak asuh Ibu Lestari dari era Yayasan Amalia serta para orang-tua dari anak-anak asuh dari era Yayasan Aulia di daerah Jakarta. Sayangnya para narasumber yang lain ini juga tidak menyadari bahwa waktu adalah relevan dalam mengisahkan sejarah. Sehingga saya sendiri meragukan beberapa angka tahun yang saya kutip di sini mengingat saya tidak melakukan pengecekan dokumen. Misalnya kapan Ibu Lestari (bersama Pak Eddy Hidayat) pertama kali mengelola rumah singgah bagi anak-anak jalanan; sejak kapan sampai kapankah Ibu Lestari berkarya di bawah Yayasan Amalia; dan kapankah  tepatnya Ibu Lestari melepaskan kaul biarawati? Ini semua tidak saya temukan angka tahun pastinya. Namun saya tidak merisaukannya, oleh karena saya berpandangan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ibu Lestari sepanjang 42 tahun hingga ulang-tahunnya ke-75 adalah jauh lebih penting dibandingkan angka-angka tahun ini. Kekurangan akuratan mengenai angka tahun ini, saya kira, tidak mengurangi makna karya sosial kemanusiaan yang telah dilaukan oleh Ibu Lestari. Apalagi buku ini disusun tanpa sepengetahuan beliau.

Tahun 1976: Awal Karya Sosial

ibu lestari bersama anak yayasan hambaPada tahun 1963 ketika lulus dari SMA Santa Ursula di Jl. Lapangan Banteng Jakarta, Maria Immaculata Roh Endah Lestari masuk Biara Ordo Santa Ursula (OSU) sambil kuliah di Sekolah Tinggi Kateketik Katolik di Jl. Gereja Theresia Jakarta. Pada kurun itu ia sempat mempelajari agama Islam di Jl. Abubakar Ali Yogyakarta. Ketika mendapatkan tawaran melanjutan kuliah, Lestari ingin mengambil jurusan sosial. Sayangnya di Indonesia yang namanya fakultas ilmu sosial selalu bergandengan dengan ilmu politik. Karena tidak suka dengan yang namanya politik, maka kemudian ia memilih kuliah S2 di Asian Social Institute Manila, Filipina, dan mengambil jurusan sosiologi. Ini adalah lembaga penddikan yang memiliki semangat cinta-kasih, yang artinya benih kepedulian terhadap sesama yang telah disemaikan orang-tua di benak Lestari menjadi makin subur di Manila, terutama ketika ia menyusun tesis tentang anak-anak jalanan di Manila City.

Sewaktu tinggal di Manila ini, demi mengembangkan pengetahuan tentang hidup, Lestari menjalankan syarat yang asketis sifatnya, yaitu retret selama 40 hari. Inilah retret yang membantunya memantapkan batin untuk menekuni dunia pelayanan sosial dengan mendampingi kaum papa. Ia berpedoman pada sabda Yesus: “Sesungguhnya segala sesuatu  yang kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina, kamu lakukan juga untuk Aku.” (Mat 25:45).

Tahun 1976 sepulang dari Manila, Lestari diminta Keuskupan Agung Jakarta untuk mendampingi keluarga-keluarga tuna-wisma dan pengangguran yang tinggal di kawasan-kawasan kumuh, yang sebelumnya sering datang ke gereja untuk meminta bantuan kepada para pastur. Mereka ini adalah golongan yang tidak punya identitas, tidak punya pendidikan apapun, dan sering dicap sebagai sampah masyarakat karena hidup sebagai gelandangan. Khususnya bersama Thomas Bambang Nukamto, yang sama-sama asal Klaten, Lestari memberikan pendampingan kepada para gelandangan usia dewasa.

Setelah beberapa tahun akhirnya mereka menyimpulkan bahwa adalah sulit mengubah mental orang dewasa. Seberapapun bantuan yang telah diberikan, mental para tunawisma usia dewasa tidak mudah berubah. Mereka tetap tidak mandiri, dan cenderung semata-mata mengharapkan bantuan. Selain itu, tak sedikit diantara mereka yang bertindak oportunistik, misalnya dengan menjual kondisi memprihatinkan teman-temannya yang sakit-sakitan, namun ternyata kemudian memanfaatkan bantuan demi kepentingannya sendiri. Di sinilah Lestari memahami bahwa manusia itu sesungguhnya bisa memperalat manusia lain. Ia juga berkesimpulan bahwa pekerjaan mengubah diri  atau mengubah mental  adalah pekerjaan berat, yang hanya akan efektif bila dilakukan secara bergotong-royong dengan masyarakat luas dan dengan dukungan pemerintah.

Pada tahun 1980-an itu situasi keamanan di kawasan yang dihuni para tunawisma sungguh mengkhawatirkan. Lestari dan Thomas sampai harus sering main sembunyi seperti detektif untuk bisa bertemu dengan para tunawisma dampingannya. Situasi sembunyi-sembunyi ini terkait dengan isu yang merebak kala itu, yaitu penembakan misterius – yang populer disebut dengan akronim ‘petrus’ — yang menimpa orang-orang bertato, yang dicurigai sebagai preman atau tukang palak, yang kala itu tindakan kekerasan mereka dinilai sudah sangat keterlaluan sehingga  meresahkan masyarakat.

Menjadi Ibu: Anak-Anak Jalanan

Bersamaan dengan puncak frustrasi menghadapi tunawisma usia dewasa yang sulit berubah, menjelang awal dasawarsa 1980-an, bergabunglah kawan baru: Eddy Hidayat. Bertiga bersama Thomas B. Nukamto dan Eddy Hidayat, Lestari mengalihkan pendampingan mereka kepada anak-anak jalanan, yang seolah tiba-tiba saja banyak berkeliaran di sekitar lampu-lampu merah perempatan jalan besar di Jakarta. Anak-anak itu ada yang jadi tukang semir sepatu, penjaja asongan, ada yang jadi pemulung, juga pengamen. Ketika malam mereka tidur di emperan-emperan toko, di kolong-kolong jembatan, di terminal-terminal dan juga di pasar-pasar.

Meninggalkan pendampingan terhadap gelandangan dewasa demi anak-anak jalanan adalah pertimbangan yang dirasa tepat: Bukan hanya karena anak-anak memiliki peluang lebih besar untuk belajar dan dididik untuk bertransformasi agar memiliki masa depan yang tidak seburuk kehidupan orang-tua mereka, alasan utamanya adalah karena anak-anak adalah mahluk paling rentan dieksploitasi ketika terjadi krisis di dalam keluarga. Misi Lestari sendiri adalah sesuai motto yang dijunjungnya, yaitu: satu anak adalah lebih penting daripada seluruh dunia, maka menerima anak-anak yang ditolak dan merasa ditolak adalah wujud dari nilai yang dijunjungnya itu. Dan yang paling rentan diantara anak-anak yang ditolak adalah anak-anak jalanan. Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di alam merdeka, mereka terbiasa hidup bebas di jalanan yang rawan eksploitasi, namun sekaligus mereka juga terbiasa ditolak. Ketika mengetuk pintu mobil untuk menawarkan dagangannya misalnya, seringkali mereka tidak mendapatkan respon yang positif.

Dalam usia yang sedini itu – antara tujuh sampai 15 tahun — mereka sudah hidup di jalanan yang kejam. Sudah barang tentu mereka sangat rentan dieksploitasi oleh pemimpin-pemimpin geng. Betapa miris mendengar kisah anak-anak kecil yang ingin jadi penyemir sepatu dipaksa untuk dibo’ol terlebih dahulu. Dibo’ol adalah istilah anak-anak jalanan untuk disodomi. Oleh siapa? Tentu saja oleh (calon) ‘bos’ mereka, yaitu orang-orang dewasa yang biasanya adalah jègêr alias preman jagoan.

Adalah kediaman mitra kerjanya, Eddy Hidayat, di Sunter yang digunakan sebagai semacam rumah singgah bagi anak-anak jalanan. Rumah ini tidak pernah dikunci, agar anak-anak itu bisa singgah sewaktu-waktu, agar mereka merasa mendapatkan kepercayaan. Pada awalnya tidak mudah merengkuh anak-anak ini. Belakangan Lestari paham, anak-anak menghindarinya karena takut jangan-jangan perempuan dewasa yang menerima mereka adalah agen penjual anak. Anak-anak itu takut jadi korban trafiking.

Pendekatan terhadap anak-anak itu yang pertama-tama adalah mengajak mereka mampir ke rumah singgah untuk sekedar mandi dan makan. Setelah mereka beberapa kali singgah untuk makan, Lestari dan kawan-kawan mengajak mereka ngobrol, dan membiarkan mereka bercerita. Kebanyakan anak-anak itu punya orang-tua dan orang-tua mereka bukanlah gelandangan. Mereka pada umumnya kabur dari rumah karena tidak kerasan, mereka tidak betah di rumah karena rumah bukanlah tempat yang nyaman. Ada yang kabur karena kedua orang-tuanya tiap hari bertengkar; ada yang ibunya menikah lagi dan ayah tirinya suka melakukan kekerasan terhadapnya. Mereka adalah anak-anak yang kabur dari rumah menghindari situasi yang membuatnya tidak nyaman seperti percekcokan antara orang-tua, atau tidak terurus karena orang-tua menkah lagi, atau karena sakit hati akibat mengalami kekerasan fisik di rumah seperti dihajar ayah, dan sebagainya.

Pada awalnya mereka berjumlah 12 anak, laki-laki semua, usia antara 7-15 tahun. Mereka kebanyakan ditemukan oleh relawan ketika berkeliaran di Pasar Senen. Sugeng adalah salah seorang diantara anak-anak angkatan pertama ini. Ketika jumlah anak jalanan bertambah banyak, profesi mereka pun ikut berkembang. Ada yang jadi tukang memayungi pejalan kaki ketika hari hujan, ada yang jadi tukang lap mobil. Bila pengemudi mobil menolak, anak-anak bisa jengkel dan jika jengkel, mereka tak segan-segan menggores badan mobil dengan benda tajam. Anak-anak jalanan ini selalu punya siasat jitu bila hendak dirazia polisi ketertiban umun yang mereka sebut dengan lalat hijau karena seragam hijau-hansip yang mereka kenakan. Misalnya ada yang kemudian menyimpan kedua tangannya di dalam baju dan berpura-pura kuthung (tak punya lengan).

Ibu Lestari sebelumnya adalah seorang guru sekolah dasar di lingkungan SD Sancta Ursula. Sebagai seorang guru, mendidik adalah naluri. Namun ia mengaku tidak mudah membuat anak-anak ini bisa duduk untuk belajar dengan tekun. Tetapi Ibu Lestari menyadari, duduk dengan tekun belajar bukanlah semangat mereka. Maka diajaklah anak-anak ini membuat es kelapa muda, dan meminta mereka menjualnya dengan menjajakannya keliling kampung. Ibu Lestari masih teringat, suatu kali rombongan penjual es ini melupakan jualannya, karena mereka menemukan ada banyak siput di rawa-rawa. Mereka lantas beramai-ramai memanen siput, dan membawanya pulang dengan es jualan yang telah mencair. Ini adalah salah satu kenangan indah Ibu Lestari bersama anak-anak asuhnya.

Suasana rumah singgah ini sederhana, sehingga bisa dirasa akrab oleh anak-anak jalanan yang terbiasa dekat dengan kekumuhan. Bahkan untuk menjembatani jarak psikologis, di sini anak-anak diajak makan bersama menggunakan piring yang terbuat dari batok kelapa. Dan anak-anak ini memanggil “Ibu” kepada Lestari.

Anak-anak jalanan ini pada dasarnya ingin dimengerti, karena merasa dimengert adalah penting. Kalau tidak dimengerti, mereka akan cenderung pergi, minggat. Anak-anak yang terbiasa dengan kebebasan cenderung lari minggat bila ada masalah.

Namun anak-anak jalanan memang sudah terbiasa akrab dengan kekerasan hidup dan tindakan-tindakan berbahaya demi mempertahanan hidup yang membutuhkan modal penting berupa nekad, yaitu keberanian membuat keputusan penting yang mampu mengenyahkan segala kekhawatiran mengenai risiko buruk yang diakibatkan. Semacam suatu titik dimana tak mungkin untuk kembali surut. A point of no return, terutama ketika dihadapkan pada tuntutan hidup. Ada saja diantara anak-anak yang bisa membuat keputusan misalnya merampok aset yayasan se[erti televisi dan mesin ketik. Tapi bila dimengerti, mereka akan bersedia mengganti uang yang hilang mereka ambil dan mereka juga tidak lari meninggalkan rumah singgah.

Harus Memilih: Melepas Kaul

Kehidupan keras dunia gelandangan dan anak-anak jalanan yang digelutinya memaksa Lestari harus rela menyisih dari komunitas biara Ursulin yang sangat dicintainya. Hampir 17 tahun menjadi suster di Biara Ordo Ursulin Bidang Pelayanan, Lestari merasa dipersiapkan untuk berkarya mengabdi ke kehidupan sosial, yang semangatnya adalah cinta-kasih.

“Saya keluar dari biara Ursulin karena tidak enak dengan teman-teman. Hampir setiap hari saya baru bisa pulang ke biara pukul 23.00 atau 24.00, sementara teman-teman lainnya sedang doa bersama. Kesibukan saya mengurus para gelandandan dan anak-anak jalanan membuat saya tidak bisa mengikuti kegiatan di komunitas seperti teman-teman lainnya. Daripada mengganggu ketenteraman komunitas lebih baik saya mundur,” ujarnya kepada Heroe PR/Budi dari majalah Utusan No. 11 tahun ke-50, November 2000, hal. 116-18. Problem orang-orang di daerah kumuh yang dilayaninya sering membutuhkan pemecahan seketika. Misalnya ada yang sakit keras. Tidak mungkin harus menunggu esok pagi baru dibawa ke dokter. Pertengkaran yang berakhir dengan tindak kekerasan terhadap anak atau kaum wanita juga harus ditangani segera. Sebab bila dibiarkan maka bisa membahayakan korban. Memang demikianlah cara kerja Lestari dan kawan-kawan.

Menyadari dirinya sudah telanjur “larut” mencintai kaum gelandangan, Lestari merasa harus menentukan pilihan, karena ia tidak mungkin berada di dua dunia yang saling berlawanan aturan. Komunitas biarawati menuntut dirinya untuk selalu mentaati peraturan yang sudah digariskan; sementara tugas mengurus anak jalanan mau tidak mau arus “menabrak” aturan tersebut. Maka dengan berat hati namun dengan penuh kesadaran, akhirnya tahun 1993 ia memutuskan menanggalkan jubah biarawati. Lestari memohon maaf kepada orang-tua dan biara Unio Sancta Ursula (OSU) karena keputusannya untuk melepaskan kaul  setelah hampir 17 tahun mengenakan jubah biarawati. Ia memohon ampun kepada Tuhan karena tidak setia pada kaul yang diikrarkannya dalam OSU. Ia juga berterimakasih sangat mendalam kepada para pimpinan biara OSU yang memberikan kebebasan kepadanya untuk hidup menurut suara hati sehingga ia bisa jadi seperti sekarang. Ia juga bersyukur dan berterimakasih kepada para suster OSU yang tetap menerimanya sebagai saudara dekat.

Tahun 1984: Yayasan Amalia

Jumlah anak yang mesti diurus dengan cepat bertambah. Ketika ada satu anak yang berkenan mampir, ia akan kembali dengan dua teman, dan kemudian dengan lima teman, dan seterusnya. Oleh karena jumlah anak yang ditangani makin banyak, dan makin banyak pula sumbangan yang diterima. Aksi sosial yang dilakukan oleh Lestari dan kawan-kawan  menimbulkan simpati banyak pihak. Banyak relawan bergabung untuk membantu menemukan anak-anak jalanan. Maka pada tahun 1984 disarankan agar didirikan sebuah yayasan agar aktivitas ini tidak dianggap liar. Lestari tak bisa menolak, namun ia menyambut pendirian lembaga yang dinamakan Yayasan Amalia ini dengan air mata. Lestari bukan orang yang tertarik dengan ide pendirian lembaga. Karena institusi adalah seperangkat aturan yang mengikat, dan terutama ini menyakut soal administrasi dan pelaporan. Ia memang lebih mengutamakan kerja-kerja yang substansial.

Pendiri Yayasan Amalia antara lain adalah Ibu Letjen Polisi Jeane Mandagi. Ibu Lestari masih teringat, ketika ia mengatakan kepada anak-anak asuhnya bahwa Ibu Jeane adalah seorang jenderal polisi, anak-anak tidak percaya. Dan mereka memastikannya sendiri dengan menanyakan langsung kepada Ibu Jeane, apakah benar Ibu Jeane seorang jenderal polisi.  Ketika Ibu Jeane membenarkan, anak-anak terdiam.

Pendirian yayasan untuk menaungi kerja-kerja pendampingan anak-anak jalanan ini mengubah banyak hal. Sejak saat itu Lestari terpaksa harus juga mengabdi pada kertas-kertas. Namun bukan itu yang membuatnya begitu kecewa.

Sebelum Yayasan Amalia didirikan, Lestari dan  kawan-kawan juga menjalankan aktivitas mengasuh anak-anak cacat seminggu dua kali: Menjemput anak-anak cacat, memandikan mereka, merawat serta menemani mereka, agar orangtua mereka bisa punya waktu libur sejenak. Ini adalah kerja kemanusiaan yang membahagiakan, karena Lestari dan kawan-kawan bisa menyaksikan wajah-wajah yang semula murung jadi berubah menjadi senyum merekah. Sayangnya aktivitas ini tidak bisa dilanjutkan ketika Yayasan Amalia dibentuk, dengan alasan karena mereka tidak memiliki keahlian untuk menangani orang-orang dengan berbagai kendala motorik ini. Sikap Yayasan Amalia yang menghentikan aktivitasnya ini kerap disesalinya. Namun ia berlega hati ketika kemudian ia mendapatkan masukan bahwa di negara maju tindakan sebagaimana telah mereka lakukan justru malah didorong, yaitu dengan mendorong masyarakat terlibat dalam upaya menolong keluarga-keluarga dengan anggota difabel. Ia terhibur karena ternyata yang telah dilakukannya adalah hal yang benar, kendati telah dilarang oleh Yayasan Amalia.

Di Jakarta Ibu Lestari dan kawan-kawan mengorganisasikan rumah-rumah transitional bagi anak-anak jalanan ini, sedemikian rupa sehingga anak-anak menjalani proses bertahap, dari kehidupan jalanan ke arah kehidupan yang lebih teratur, demi kebaikan anak di masa depan. Proses adaptasi ini pertama-tama anak diterima di rumah 1 yang merupakan rumah singgah dimana anak diperkenalkan dengan konsep rumah, namun mereka masih dibiarkan keluar-masuk sesuka hatinya. Ini adalah rumah untuk sekedar mampir saja dimana anak boleh datang untuk makan dan minum. Bila anak-anak sudah merasa betah untuk tinggal, maka mereka dipersilahkan menginap di rumah 2. Di sini anak-anak tetap dengan kegiatan mereka, namun malamnya tidur menginap di di rumah 2. Sedangkan untuk rumah lainnya adalah untuk anak-anak yang sudah mau rutin sekolah berdasarkan jenjang sekolahnya masing-masing. Setelah usia cukup, dan sudah selesai jenjang sekolah tertentu, bila memang mau, pada umumnya anak-anak kemudian dititipkan di Yayasan Murakabi yang dipimpin Ibu M. Sri Martani Rustiadi (Tante Theo) di Jalan Sumurbatu, selama kurang-lebih satu tahun untuk mendapatkan pendidikan karakter. Di sini anak-anak Amalia antara lain belajar keterampilan hidup, etika, tanggung-jawab, disiplin, dan juga pencak silat untuk melindungi diri mereka. Tujuan pendidikan karakter ini agar anak mampu mandiri dan berinisiatif atau punya kemampuan untuk bekerja tanpa disuruh.

Melani-Ibu Tari-Thres
Melani, Ibu Tari, Thres

Tahun 1992: Balita Perempuan

Selain menyelenggarakan rumah singgah, merumahkan anak-anak yang mau sekolah, para relawan yang membantu Ibu Lestari mengadakan pendampingan belajar bagi anak-anak sepulang mereka dari sekolah sementara ibu mereka masih bekerja. Kegiatan ini dilakukan dimana saja yang memungkinkan seperti di pojok pasar. Dari aktivitas ini para relawan bisa menemukan anak-anak yang perlu diselamatkan. Mulai tahun 1992 ini Ibu Lestari dan kawan-kawan mulai menerima penitipan anak-anak balita agar mereka bisa mendapatkan lingkungan tumbuh yang lebih sehat dan lebih memadai selama ibu mereka bekerja mengupas bawang atau menyortir cabe di pasar. Kebetulan para balita usia 2-5 tahun ini semuanya perempuan.

Tahun ini pula Ibu Lestari dan kawan-kawan mulai menerima anak-anak perempuan untuk diasuh, bukan hanya anak laki-laki saja. Mereka adalah anak-anak dari ibu-ibu jalanan dan ibu-ibu yang tinggal di tempat-tempat kumuh seperti di daerah Senen, Pedongkelan, Kebon Nanas, Kampung Kandang, juga Nggaplok.

Masa depan anak-anak yang lahir dari pasangan tunawisma harus diselamatkan. Mereka adalah anak-anak manusia yang paling lemah dan hina, karena lahir dari pasangan di luar nikah. Maka bisa dikatakan, sejak bayi kehadiran mereka sebenarnya sudah ditolak. Ibu Lestari berpendapat bahwa pembinaan terhadap anak itu harus diambil alih. Anak-anak itu harus tetap memperoleh haknya merasakan kehangantan kasih sayang orang-tua, meskipun itu didapat bukan dari orang-tua kandungnya. “Anak-anak itu harus diselamatkan dari dunia keras orang-tuanya. Kami tidak ingin mereka bernasib sama seperti orangtuanya,” tandas Ibu Lestari suatu kali.

Perlakukan Ibu Lestari dan kawan-kawan terhadap anak-anak perempuan ini berbeda dari perlakuan terhadap anak laki-laki. Bukan hanya karena kekhawatiran bahwa anak-anak itu akan cepat hamil di usia dini bila tidak dijauhkan dari lingkungan orang-tua mereka, namun juga karena pembawaan mereka yang berbeda. Anak laki-laki dari kecil sudah punya pembawaan ‘liar’. Mereka lebih suka kelayapan dan mudah menghilang dari pandangan para pengasuh. Sementara anak perempuan memang berbeda. Mereka lebih domestik, lebih betah tinggal di dalam rumah.

Kehadiran anak-anak perempuan ini yang membuat Ibu Lestari berpikir tentang perlunya pendidikan khusus, yaitu pendidikan karakter, bagi anak-anak selain mereka juga sekolah umum di luar. Pendidikan karakter ini diberikan selama satu tahun di kediaman saudara Ibu Lestari, Tante Theo, yang juga adalah seorang pendidik, yang tinggal di daerah Sumurbatu. Di sana mereka diajari etika, keterampilan praktis, dan juga diajari pencak silat untuk melindungi diri mereka.

Tahun 1995: Yayasan Aulia Jogja

Merasa tidak cocok dengan Yayasan Amalia, maka bersama Eddy Hidayat (rekan relawan di Yayasan Amalia), pada tanggal 18 April 1995 Lestari mendirikan Yayasan Aulia. Nama yayasan ini mengabadikan nama almarhumah adik kandung Eddy Hidayat, mahasiswi UI yang aktif di dunia sosial namun kemudian meninggal di Ancol. Adapun Lestari menyumbangkan pemikiran menyangkut misi organisasi, yaitu memberikan perlindungan bagi anak-anak yang ditolak dan merasa ditolak, terutama dari kalangan tidak mampu serta memberikan atmosfer penuh kasih yang memungkinkan anak tumbuh secara bermartabat. Jadi, Yayasan Aulia adalah identik dengan Lestari Projosuto dan Eddy Hidayat.

Pada tahun ini pula, Yayasan Aulia memindahkan sekolah anak-anak asuh ke Jogja. Ada dua alasan mengapa anak-anak dibawa pindah ke Jogja. Pertama adalah karena harga sewa rumah di Jakarta makin mahal, sementara anak-anak sudah mulai betah tinggal rumah perlindungan yang dikelola yayasan. Pada saat itu, Ibu Lestari mendapatkan warisan rumah keluarga di Jalan Samirono Baru 25A Jogja. Alasan kedua adalah, kendati anak-anak asuh tinggal bersama Ibu Lestari, namun ibu anak-anak punya kebiasaan buruk, yaitu tiap malam Jumat mereka datang mengambil anak-anak dan baru pada hari Minggu sore anak-anak itu dipulangkan ke yayasan. Untuk apa? Untuk diajak ngemis di Masjid Istiqlal ketika habis Jumatan dan pada hari Minggu pagi diajak ngemis di Kathedral. Seringkali anak-anak ini dikembalikan dalam keadaan buruk, seperti dekil, bau, mencret, bahkan dalam kondisi sakit.

Selama tujuh tahun Yayasan Aulia Jogja harus menyewa beberapa rumah lainnya, karena jumlah anak bertambah sampai sekitar 50 anak. Karena tiap anak harus mendapatkan kasih-sayang memadai, maka Ibu Lestari perlu ditemani banyak sosok ibu pengganti. Para ibu asuh atau sosok ibu pengganti ini dipanggil ‘Mak’ atau ‘Bu’ oleh anak-anak, sementara kepada Ibu Lestari anak-anak memanggil ‘Mbah’ atau ‘Embah’. Sebutan yang mengacu pada kebiasaan kelas proletar kendati penampilan, sikap dan latar belakang Ibu Lestari sangat priyayi.

Setelah tujuh tahun anak-anak tinggal di lima rumah terpisah, pada tahun 2002 anak-anak diboyong ke Pakem, ketika satu kompleks kecil dengan lima rumah serta satu bangunan kantor di atas lahan seluas 3.322 meter persegi yang didanai Stichting Lestari Belanda dan Sahabat Jerman serta donatur lainnya sudah siap dihuni.

Tahun 2012: Aulia Menjadi HaMba

Sudah menjadi kesepakatan bahwa Ibu Lestari bertanggung-jawab atas pengelolaan Aulia Jogja, sementara Pak Eddy Hidayat bertanggung-jawab atas pengelolaan Aulia Jakarta. Demikianlah pengaturan Yayasan Aulia yang pendiriannya di Jakarta pada tahu 1995. Tahun demi tahun masing-masing penanggung-jawab memiliki otoritas otonom, memiliki sumber dana atau sponsor sendiri, serta masing-masing melakukan aktivitas yang berbeda. Sampai pada tanggal 28 Juli 2012 Rapat Pleno Yayasan Aulia di Jakarta memutuskan bahwa Aulia Jogja saatnya menggunakan nama yang berbeda dan akan menerima hibah aset-aset yang ada di Jogja. Ibu Lestari setuju dengan keputusan rapat pleno ini dan kemudian 15 Oktber 2012 mendirikan Yayasan HaMba yang pada hakikatnya adalah sama dan sebangun dengan Yayasan Aulia Jogja.

Akan halnya nama Yayasan HaMba adalah akronim dari Sahabat Manusia Pembutuh Cinta. Ini adalah nama yang mengandung misi kemanusian memihak mereka yang paling ditolak, yaitu anak-anak dari keluarga jalanan.
Namun Ibu Lestari memberikan batasan usia untuk anak-anak yang bisa dititipkan ke yayasan, yaitu maksimum usia tiga tahun untuk anak laki-laki, dan usia sekitar 10 tahun untuk perempuan. Karena anak laki-laki lebih dari tiga tahun sulit ditertibkan, sementara perempuan harus dilindungi dari ancaman hamil di usia sangat belia apabila mereka tetap di jalanan.

Yayasan HaMba disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-8448.AH.01.04 Tahun 2012 tentang Pengesahan Akta Pendirian Yayasan Sahabat Manusia Pembutuh Cinta dengan NPWP: 31.630.6760-542.000 dan dengan Izin Operasional dari Badan Kerjasama dan Penanaman Modal Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta No. 222/999/GR.I/2015 tertanggal 22 Desember 2015.

Tahun 2015: LKSA Berprestasi

Antara lain berkat Mbak Etik Prawahyanti yang sebagai ketua (2013-2016) yayasan telah mendorong HaMba melakukan penertiban dokumen administrasi termasuk memperluas jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, pada tahun 2015 Yayasan HaMba mendapat penghargaan dari Menteri Sosial sebagai LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) berprestasi peringkat dua untuk tingkat nasional, dan sebelumnya mendapatkan penghargaan peringkat pertama di tingkat ProvinsiDIY dan Kabupaten Sleman. Kriteria penilain untuk penghargaan ini adalah karena pola pengasuhan serta fasilitas yang disediakan oleh yayasan dinilai memenuhi SNPA (Standar Nasional Pengasuhan).

Tentu adalah Ibu Lestari yang paling berperan dalam menetapkan standar pengasuhan ini, yang ternyata sesuai dengan SNPA, dan bukan sebaliknya dimana HaMba bersusah-payah terlebih dahulu untuk menyesuaikan diri dengan standar yang ditetapkan negara. Tentang hal ini Ibu Lestari memberikan komentar sederhana: “Yang penting itu basis pendidikan anak adalah di dalam keluarga.”

Tahun 2017 : Akreditasi A

Mengelola suatu lembaga perlindungan anak adalah perkara kerja kolektif. Kerja kolektif membutuhkan nilai-nilai yang sama sebagai pedoman, agar misi bisa diwujudkan. Kendati tidak mudah menpatkan ibu asuh atau sosok ibu pengganti bagi anak-anak asuh, Ibu Lestari setidaknya telah berhasil mengkader beberapa orang yang bisa diandalkan sebagai tulang punggung lembaga. Merekalah yang selama ini, sejak mereka bergabung dengan Ibu Lestari ertama kali hingga saat ini tak pernah meninggalkan anak-anak dan lembaga kendati mereka tidak bisa mendapatkan imbalan materi secara memuaskan. Ibu Lestari setidaknya telah berhasil mendidik tiga orang, yang saya sebut dengan “Trio Angela”, yaitu Mbak Dwi, Mbak Lani dan Mbak Thres, sedemikian rupa sehingga Trio Angela ini bisa – dalam istilah Ibu Lestari — memiliki kepentingan (self-interests) yang berdasarkan kepentingan Tuhan (God-interests). Karena hanya dengan demikian maka masing-masing menjadi rendah hati, sehingga tidak terjadi konflik. Terutama kepada Trio Angela ini, yang sudah sekitar 20 tahun bekerja di yayasan, Ibu Lestari telah menanamkan visi secara mengakar. “Anda bekerja untuk Tuhan, bukan untuk saya,” demikian Ibu Lestari mendidik Trio Angela.

Maka tidak mengherankan apabila ketika sistem akreditasi untuk lembaga kesehajteraan sosial anak seperti panti asuhan dan sejenisnya diberlakukan oleh negara, maka Yayasan HaMba mendapatkan Akreditasi A yang artinya Sangat Memuaskan, dengan masa pengakuan selama lima tahun.

Pada tahun ini, selain pengakuan terhadap kinerja yayasan, salah seorang anak asuh Yayasan HaMba, Monica, terpilih mewakili remaja Indonesia untuk ikut kampanye inernasional melawan kekerasan terhadap anak di Ottawa, Kanada, pada bulan Oktober 2017 dan selanjutnya juga ke Stockholm, Swedia, pada bulan Januari 2018, untuk acara lanjutan dari kampanye tersebut. Monica berada di bawah pengashan Yayasan Hamba sejak kecil bersama kakak kandungnya, sementara ibu mereka tetap tinggal di bawah kolong jembatan di Jakarta dan mencari penghidupan dengan berjualan kopi keliling. Berkat diangkat media, maka Bu Subur, ibu Monica, kemudian mendapatkan bantuan tempat tinggal d rusunawa Cempaka Putih dari Kementerian Sosial.

Monica terpilih melalui seleksi yang dilakukan oleh Save the Chilren. Sebetulnya tahun sebeumnya, Vanessa, juga anak asuh Yayasan HaMba, juga terpilih melalui seleksi yang sama untuk dikiri ke New York, namun waktu yang diberikan oleh anitia untuk mengurus paspor dan visa terlalu pendek mengingat ada libur lebaran satu minggu. Alhasil, kendati menang seleksi, Vanessa batal pergi ke Amerika.

Cerita tentang terpilihnya Monica dan Vanessa adalah penting diangkat untuk menunjukkan bahwa Ibu Lestari dan para ibu pengganti yang mengasuh anak-anak di Yayasan HamBa telah berjuang sebaik-baiknya menyayangi, mengasuh dan mendidik anak-anak.


Bacaan Pelengkap:

Sekilas Sido Muncul Award, 11 November 1999

Majalah Utusan No. 11, Tahun ke-50, November 2000

Tabloid Mingguan Kartini No. 19/1, 12 November 2000

The Jakarta Post, 24 February 2001

Majalah Hidup No. 34 Tahun LVI, 25 Agustus 2002