Pelayanan Bersama Ibu Lestari: Pengalaman Sri Sugiyarti Theresia

Sebetulnya sejak awal ketika tiba di Jakarta dari Kalteng untuk kuliah, sampai dengan sekarang, Ibu Lestari adalah ibu saya. Segala kegiatan yang saya lakukan hingga saat ini adalah berkat dikenalkan oleh Monsinyur (Mgr. Prajasuta), kakak Ibu Lestari.

Tanggal 1 Agustus 1990 saya telah tinggal selama sebulan di Marsudirini Matraman. Kemudian saya tinggal bersama Ibu Lestari sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya hidup selama saya kuliah.

Sejak saat itu saya menjadi bagian dari “keluarga besar” Ibu. Dan saya  pun ikut pindah rumah sebanyak sembilan kali karena menjadi bagian dari aktivitas Ibu, ketika di Jakarta maupun di Jogja.

Selama 4,5 tahun kuliah di Jakarta, mengambil jurusan bimbingan dan konseling di Universitas Atmajaya, saya ikut kegiatan pendampingan yang dilakukan Ibu Lestari, bersama para pengasuh, di Yayasan Amalia. Di sela-sela waktu kuliah saya membantu Ibu Lestari sebagai relawan mengasuh anak-anak di lapangan. Yang disebut lapangan adalah daerah-daerah kumuh seperti di Pasar Senen, Pasar Gamplok, dan Pengarengan. Tugas saya waktu itu adalah menemani anak-anak menggambar, menulis dan membaca. Anak-anak itu baunya prengus, amis, ada yang bau pesing. Wajah mereka kotor, pakaian mereka lusuh. Tetapi saya kemudian terbiasa dan menjadi akrab dengan kondisi seperti itu sehingga saya juga tidak punya lagi rasa jijik. Oleh anak-anak, saya dipanggil “Kakak”.

Tahun 1995, ketika saya belum betul-betul lulus, karena belum wisuda, saya dipanggil Ibu. Ternyata saya disuruh ke Jogja keesokan harinya. Pagi harinya, sebelum berangkat, saya harus ambil uang dulu dari seorang donatur, yaitu Ibu Lani Subowo yang tinggal di Puri Indah, sebanyak Rp 2 juta. Itu tanggal 18 April 1995, dan sorenya saya berangkat ke Jogja. Waktu itu Rumah Samirono Jogja sudah setahun ada, namun pengasuhnya pergi begitu saja tanpa pamit membawa uang belanja dan meninggalkan banyak hutang. Yang ada waktu itu hanya Oma, yang sampai sekarang tetap bersama kita di Pakem.

Didampingi Ibu Ignasia (Eyang Roh Asri, kakak kandung Ibu Lestari) saya menjalani orientasi untuk dikenalkan dengan Kota Jogja. Ibu Ignasia mengajak saya keliling kota untuk menunjukkan lokasi kantor-kantor. Orientasi ke kantor-kantor ini memang sangat penting karena saya memang harus mengurus segala sesuatu: Melapor ke RT, membayar uang sekolah anak-anak, membayar rekening telepon yang tertunggak, dan sebagainya. Saya waktu itu ditugaskan membayar hutang-hutang yang ditinggalkan pengasuh yang menghilang itu.

Puji Tuhan. Berkat dukungan Ibu Ignasia saya bisa menuntaskan tugas itu semua dan belajar banyak hal.

Saya kembali ke Jakarta untu diwisuda bulan November 1995 dan atas budi baik Pak Eddy Hidayat diselenggaakanlah syukuran atas kelulusan saya di Rumah Samirono dengan tumpeng nasi kuning beserta ubarampe yang dimasak oleh Mbak Tuminah, ibu salah satu anak asuh kami. Setelah diwisuda saya “dikirimi” bayi Sari yang baru berumur 40 hari. Bayi Sari gemuk. Ketika bisa tengkurap, Sari bisa bermain-main dengan dirinya sendiri. Pada usia tujuh bulan, Sari diasuh oleh Bu Lani.

Pada waktu itu bersama Oma yang memasak dan mencuci, saya menjadi ibu asuh bagi enam anak (empat anak SD, satu anak SLB dan satu masih batita). Dengan menggendong batita tiap pagi saya mengantar lima anak sekolah dengan naik bis dan turun di sekolah-sekolah berbeda. Balik dari mengantar sekolah saya langsung belanja ke pasar. Sementara itu batita sudah pasti ngompol dalam gendongan karena pada saat itu pamper belum dikenal. Dalam sehari saya bisa kena ompol tujuh kali. Tapi itu apa boleh buat, ya saya nikmati saja.

Selain mengasuh, mengantar anak-anak ke sekolah, belanja ke pasar, saya juga harus membuat laporan keuangan, laporan perkembangan anak, laporan kesehatan, dan juga memuat laporan pendidikan anak. Dan laporan-laporang itu harus kuketik menggunakan mesin ketik cethok-cethok yang besar itu.

Tahun 1997 ketika bapak saya meninggal, saya pulang ke Kotawaringin di Kalimantan Tengah untuk peringatan 100 hari mendiang bapak. Karena tidak ada yang memegang Atin bila saya tinggal, maka saya pulang ke kampung halaman sambil menggendong Atin yang baru berumur satu tahun. Kami naik kapal laut.

Suatu kali paklik dan bulik saya datang menjemput saya. Saya diminta keluar dari yayasan karena ada posisi guru negeri yang bisa saya dapatkan di Kalteng. Saya sempat merenungkan tawaran itu, tetapi kemudian saya harus membuat bulik saya kecewa. Kalau saya meninggalkan yayasan, bagaimana dengan anak-anak asuh saya? Saat itu sama sekali tidak mudah mencari ibu asuh bagi anak-anak. Saya mendengarkan suara hati kecil saya, dan memilih tetap tinggal bersama anak-anak.

Mengasuh anak-anak tidaklah mudah. Terimakasih kepada anak-anak semua, yang merasa pernah saya tegur dan saya marahi. Sebetulnya semua sudah pernah saya marahi. Ya, saya memang dulu galak. Pernah anak-anak saya hukum berdiri di halaman karena bandel-bandel. Suatu malam mereka tidak lekas tidur, malah main-main dan bercanda. Mereka semua saya hukum berdiri di halaman belakang rumah Samirono. Tetapi Akim malah menangis tak kunjung diam. Maka sempat kuseplak wajahnya.  Esoknya, ketika ditanya Ibu kenapa wajanya baret, Akim menjawab: “Kena duri….” Padahal tergores cincinku ketika kuseplak. (Itu cincin yang baru diterima dari Ibu Lestari pada tahun 1998 sebagai hadiah atas penyerahan diri dalam pelayanan. Selain saya, ada tiga teman lagi yang menerima penghargaan kecil ini, yaitu Mbak Paryati, Mbak Darmi dan Oma, namun untuk Oma tidak dalam bentuk cincin, melainkan uang tunai). Ini adalah kejadian ketika masih di Rumah Samirono, belum pindah ke Iromejan.

Kediaman Ibu Lestari di Jl. Samirono Baru 25A adalah rumah pertama bagi anak-anak dari Jakarta ini. Ketika jumlah anak bertambah, kami menyewa rumah di Iromejan 36. Sementara anak-anak yang lebih kecil tetap tinggal rumah Samirno Baru 25A, anak-anak remaja tinggal bersama saya di Iromejan 36. Lima tahun kami di Iromejan, lantas kami mulaipindah ke Pakem. Namun jumlah anak betambah, sehingga dua tahun sebelum pindah ke Pakem, kami perlu menyewa dua rumah yang lain lagi, yaitu di Samirono Baru 11A, dan di Samirono 308. Kami pindah ke Pakem tahun 2002, namun untuk dua tahun pertama kami menyewa rumah di Pojok. Bu Lani dan Oma yang menjadi ibu asuh di Pojok ini.

Saya tinggal bersama anak-anak di rumah kontrakan di Iromejan. Sebagai ibu asuh saya juga harus ikut merawat anak-anak yang kesehatannya bermasalah. Hendri yang tujuh tahun lamanya, sampai kelas 2 SMP, harus terus-menerus menjalani pengobatan untuk ganguan ginjalnya ke Prof. Sabani dan Romo Loogman. Fransisca Rita selama enam tahun harus menjalani perawatan untuk gejala gangguan di otaknya, semacam epilepsi, sampai dinyatakan benar-benar sembuh seteah erawatan selama enam tahun. Anak ini pada awalnya sering kedapatan seperti melamun, ternyata pada umur dua tahun pernah jatuh dan mengalami gegar otak kecil. Ada lagi Wiji Susanti. Anaknya kurus sampai kelihatan cungkring. Kalau berjalan sangat pelan. Menurut Dokter ia menderita semacam kanker tulang. Namun kemudian ia dijemput orangtuanya, karena khawatir kalau ada apa-apa sementara jauh dari orangtua. Dewi yang waktu lahir tidak memiliki organ pembuangan dan lantas dikoreksi secara medis serta menjalani terapi selama enam tahun. Dulu waktu kecil Dewi tak punya rambut, sehingga kepalanya tiap kali harus dibaluri minyak kemiri. Sekarang Dewi cantik, rambutnya bagus, pinter dandan, dan sudah bersuami ….

Menjadi ibu asuh bagi banyak anak di usia saya yang belia bukanlah hal yang mudah. Pada tahun 2000 saya sempat merasa tidak kuat lagi melakukan tugas ini. Maka saya matur Ibu, “Ibu saya ndak kuat ….” Ibu menyarankan saya untuk mengambil cuti selama 40 hari, tetapi saya tidak mengambilnya karena khawatir kemungkinan akan ada teman yang iri.

Tetapi saya merasa frustrasi. Sampai pada puncaknya, karena jengkel melihat tingkahnya, saya lempar Dewi dengan sebutir kerikil. Tidak kena, tapi kemudian saya menangis. Emosi saya meledak.

Tampaknya anak-anak mengadu ke Ibu. Keesokan harinya Ibu meminta saya mencari teman untuk bersama-sama mengasuh anak-anak, dan selanjutnya ada Bu Sum untuk berbagi tugas. Tetapi setelah beberapa saat Bu Sum tidak tahan juga, dan jadi mudah marah, yaitu ketika Dewi kehabisan celana. Dewi karena kondisinya memang waktu itu belum bisa mengatur otot-otot organ pembuangannya, sehingga harus ganti celana berkali-kali dalam sehari. Suatu kali Bu Sum marah, dan ini membuat tiga anak – Rokhayah, Mardiani dan Dewi — sempat kabur dari Iromejan. Waktu itu sekitar jam 10 pagi, saya kembali dari pasar, mendapati tiga anak perempuan kecil usia 10-11 tahun itu tak ada, saya berkeliing kampung mencari mereka. Saya menemukan salah satu sandal anak yang baru saya belikan, hanya sebelah, tercecer di jalan. Saya menyusuri jalanan yang saya pikir kemungkinan mereka lewati. Usai Ashar, ketka saya sudah kelelahan mencari mereka, ada tetangga yang memberitahu bahwa mereka sedang memanjat pohon di dekat sungai. – Anak-anak memang susah diatur, dan Bu Sum yang memang agak tua, tidak cukup sabar menghadapi anak-anak. Sehingga Bu Sum kemudian memilih mengundurkan diri.

Tugas ibu asuh bukan hanya belanja, memasak, memandikan anak-anak yang lebih kecil, tetapi yang lebih penting adalah momong sambil mendidik anak-anak dengan cara melibatkan mereka pada pekerjaan-pekerjaan domestik harian. Untuk mencuci pakaian kotor misalnya, seragam sekolah saya yang mencuci, tetapi untuk baju sehari-hari direndam bareng, lantas selalu ada dua anak yang menyikatnya. Saya membilasnya, dan anak-anak yang lebih besar yang kemudian menjemurnya.

Saya bersikap galak ada anak-anak, karena saya pikir mereka perlu berlatih disiplin demi kebaikan mereka sendiri di masa depan. Dan anak-anak juga manut-manut. Kami selalu makan bersama, dan anak-anak biasanya ribut rebutan piring, tapi mereka harus belajar antri untuk mencuci piringnya sendiri-sendiri. Saya juga tak segan enghukum anak-anak bila mereka membuat kesalahan. Bila ada hal yang tidak benar dan tak ada seorang anak pun yang mengaku, maka semua akan saya hukum.

Hal paling membuat saya marah adalah kalau melihat ada makanan dibuang. Anak-anak harus diajari untuk menghormati makanan, sebagai mana Ibu mengajari kami. Ibu Lestari itu selalu menghabiskan makanan di piringnya sampai tandas. Tak bersisa apapun. Tak meninggalkan satu butir nasi sekali pun. Bahkan setiap usai makan bersala, Ibu-lah yang selalu membersihkan sendok nasi sampai benar-benar bersih sebelum piring kotor disingkirkan dari meja makan. Jadi, membuang makanan satu butir nasi sekali pun akan saya hukum. Ini adalah hukuman yang setimpal mengingat sejarah anak-anak Ibu sebelumnya, di era Amalia di Jakarta, ngoyen (mengais-ngais sisa makan di keranjang sampah) adalah kisah yang akrab. Tak sedikit anak Ibu era itu yang harus bertahan hidup dengan ngoyen. Maka membiarkan anak-anak membuang makanan adalah tindakan yang tidak benar.

Suatu kali saya mendapati ada sisa makanan yang dibuang. Karena tak ada yang mengaku, maka semua anak saya hukum. Mereka harus berdiri dengan satu kaki sambil kedua tangan menjewer kedua kuping mereka sendiri. Biasanya kalau sudah capek akan ada yang mengaku.

Sebulan sekali kami di Iromejan punya aktivitas menyentor lantai kamar. Semua barang dijemur, dan lantai disentor dengan air, tidak hanya dipel, tetapi disentor dengan  air dan dikosek, agar bersih dan tidak bau. Mengapa? Karena waktu itu masih ada anak yang sering ngompol kalau tidur.

Pada hari Minggu, sambil anak-anak nonton televisi, bergantian saya potong kuku mereka, saya bersihkan kuping mereka, an juga saya petani mereka. Anak-anak itu rambutnya berkutu.

Sayangnya waku itu saya tidak bisa membuat dokumentasi secara memadai. Saya tidak punya kamera. Yayasan punya kamera, tetapi kami tidak bisa sembarang meminjamnya. Sehingga saya tidak punya foto anak-anak dn aktivitas kami saat itu.

Kini, setelah seperempat abad lebih, tugas saya masih tetap sama, yaitu mengurus anak-anak. Saya tetap seorang ibu asuh. Seperti dulu dan sebelum-sebelumnya, terkadang saya juga masih harus menggendong batita, dengan kain di depan, sementara di punggung menggendong tas berisi macam-macam. Dulu, terkadang kedua tangan masih harus menggandeng dua balita. Lantas naik angkutan umum oper beberapa kali, dan juga berjalan kaki. Apa boleh buat, karena saya memang tidak bisa mengendarai motor.

Tentang perkembangan dari Aulia menjadi HaMba, dan kemudian kita menjadi lembaga sosial berprestasi peringkat pertama tingkat kabupaten dan provinsi dan juara dua nasional di tahun 2015, saya kira hal ini adalah karena secara praktik, metode pengasuhan yang diajarkan oleh Ibu Lestari tidaklah berbeda dari buku panduan SNPA (Standar Nasional Pengasuhan Anak) yang dikeluarkan Kementerian Sosial. Bedanya hanyalah soal model pelaporannya, yang dalam bentuk tulisan. Dimana setiap kasus, yang menyenangan maupun yang tidak, harus ditulis agar memudahkan penerusnya bila untuk tugas itu terpaksa harus ganti orang.

Yang terakir, saya belajar banyak dari Ibu Lestari, misalnya tentang pentingnya berterimakasih, perlunya mengekspresikan kasih-sayang, dan bagaimana menjaga kebersihan. Saya juga belajar menerima anak dalam kondisi apapun, menerima anak sebagaimana adanya anak tersebut. Dan memang, sudah lazim anak datang dalam keadaan jorok. Adalah tugas saya untuk menggosoknya jadi bersih.

Selain itu saya juga belajar ikhlas dan mengerjakan ini semua dengan hati. (nk)