DWI MARYATI | Saya bertemu pertama kali dengan Ibu Lestari Projosuto tahun 2001, ketika saya melamar bekerja di lembaga yang beliau dirikan. Saya mendapatkan kesan bahwa Ibu Lestari adalah sosok yang tegas, berwibawa tetapi juga rendah hati. Ibu Lestari menerima saya dengan baik, dan menerima saya bekerja di yayasan yang beliau kelola. Tetapi waktu itu saya matur ke beliau, bahwa saya masih harus merawat nenek saya yang sakit. Ibu dengan bijaksana menimpali, ”Anda bisa mulai bekerja kapan saja, yang penting Anda merawat nenek Anda dulu sampai sembuh.” Sungguh saya sangat terkesan akan sikap Ibu yang menurut saya luar biasa baiknya.
Waktu itu saya kira yayasan tersebut adalah yayasan Katolik, maka saya matur lagi, “Ibu , tetapi saya Islam ….” Ibu menjawab, ”Tidak masalah. Di sini kami tidak memandang agama apa pun.” Oooh …. Lagi-lagi saya merasa bersyukur dan merasa betapa sungguh luar biasa, begitu baiknya, hati Ibu Lestari.
Nama yayasan waktu itu adalah Yayasan Aulia. Saya mulai bekerja pada bulan Juni 2001. Saya bekerja di bagian administrasi. Namun, walaupun sebetulnya tugas saya adalah menyangkut pekerjaan administrasi, saya senang bila dimintai tolong ikut mengasuh anak-anak bila ada teman yang mengajukan libur.
Saat itu sudah ada dua teman sekerja di kantor yayasan, namun pada akhirnya keduanya berhenti setelah menikah. Namun bukan karena saya masih melajang maka saya teta bertahan bekerja di yayasan yang didirikan Ibu Lestari hingga saat ini. Melainkan karena saya memang kerasan. Saya merasa HaMba ini sudah menjadi bagian dari hidup saya. Kalau libur, saya biasanya pulang ke Karanganyar. Tetapi saya tidak betah berlama-lama. Selalu ingin segera kembali ke Pakem. Biarpun kadang anak-anak itu bandel-bandel, susah diajari untuk rapi. Kalau ambil baju di lemari, tumpukan baju jadi berantakan. Berkali-kali saya harus memberi contoh merapikan tempat tidur, mengajari mencuci baju….
Sejak saat itu sampai sekarang saya tinggal di dalam kompleks yayasan. Saya senang dan kerasaan karena Ibu Lestari dan teman-teman pengasuh semuanya baik dan menyenangkan. Demikian juga dengan anak-anak. Mereka semua membuat saya betah, membuat saya krasan. Saya merasa yayasan ini sudah menjadi bagian dari hidup saya.
Bekerja dalam suatu lembaga kemanusiaan bukanlah karir yang menjanjikan pangkat dan harta. Saya sangat paham akan hal itu. Bahkan pernah suatu kali yayasan kehabisan dana, sehingga para pengasuh termasuk saya hanya menerima uang saku yang hanya seperempat dari biasanya. Ya, untuk ibu pengasuh tak ada istilah gaji, melainkan uang saku karena jumlahnya tak seberapa. Toh semua menyadari situasi tersebut. Saya merasa terharu karena tak seorang pun mengeluh apalagi melarikan diri dari tanggung-jawab. Semua bisa menerima dengan ikhlas.
Tidak terasa waktu telah berjalan 17 tahun saya berkarya di yayasan yang didirikan oleh Ibu Lestari. Sepanjang 17 tahun ini saya mengalami suka dan duka bersama teman-teman dan anak-anak. Termasuk ketika Aulia Jogja berubah nama menjadi Yayasan HaMba. Saya banyak sekali belajar di sini, khususnya belajar dari Ibu Lestari, terutama tentang cinta-kasih, bagaimana mencintai dan mengasihi. Saya belajar banyak tentang menemani nonton televisi.
Saya juga selalu terkesan menyaksikan betapa telaten teman-teman pengasuh. Telaten, tekun dalam merawat anak-anak yang sakit. Hendri sembuh, Sari sembuh. Oma rajin nggodhog jamu dari Romo Loogman.
Di sini saya juga belajar tentang bagaimana menyayangi anak-anak dan bagaimana mencium mereka. Karena terus-terang saja, sejak kecil saya tidak pernah dicium oleh ibu-bapak juga oleh nenek saya. Beliau-beliau sayang dengan saya dan anak-anaknya yang lain, tetapi belum pernah kami dicium, khususnya sewaktu saya kanak-kanak. Jadi, saya baru mencium anak-anak setelah di Aulia. Saya melihat ibu Lestari selalu mencium dan selalu hangat kepada anak-anak.
Ibu Lestari juga selalu mengajarkan agar saya “jangan membiarkan diri terbawa ombaknya jaman. Dimana pun tempatnya kita harus bisa membawa diri dan bisa menyesuaikan diri“.
Bagi saya, Ibu Lestari adalah sosok ibu yang sangat luar biasa cinta-kasihnya, khususnya kepada anak-anak. Dan sikap welas-asih Ibu diberikan kepada siapapun yang datang meminta tolong. Selain itu Ibu juga sosok yang sederhana, rendah hati, jujur, pintar, dan cerdas, tetapi Ibu selalu bersikap low profile.