Pengalaman Kona’ah Anisasri Melani: Melayani Anak-Anak Bersama Ibu Lestari

 

Ibu Lestari bukanlah pembimbing saya satu-satunya dalam hal pengelolaan yayasan. Sebelumnya saya sudah dibimbing oleh Ibu Sri Martadi Rusiadi (yang lebih populer dikenal dengan anggilan Tante Theo). Karena setelah lulus dari ASMI Santa Maria Jakarta saya langsung bekerja di Yayasan Murakabi yang didirikan oleh Tante Theo di Jalan Sumurbatu. Yayasan Murakabi adalah lembaga yang menyelenggarakan latihan berjangka panjang sebagai proses character building bagi banyak anak antara lain bagi anak-anak Amalia dan Aulia Jogja yang sudah selesai menempuh pendidikan terakhir (SMK). Tujuannya adalah agar mereka memiliki mentaldan etos kerja yang baik. Biasanya anak-anak Yayasan Amalia dan Aulia akan berlatih membentuk karakter mereka di Murakabi antara sembilan bulan sampai satu tahun sebelum mencari pekerjaan.

Bagi saya sendiri, bergabung dengan Yayasan Murakabi berarti juga ikut latihan character building. Tante Theo mendidik kami sangat keras dan disiplin. Sewaktu di Yayasan Murakabi inilah saya menjadi akrab dengan teman-teman Ibu Lestari, juga anak-anak Amalia yang dididik di Murakabi.

Benar bahwa saya dan Ibu Lestari masih terikat dalam hubungan kekerabatan sebagai sepupu satu kali atau memiliki kakek-nenek yang sama karena ibu saya adalah adik dari ayah Ibu Lestari, dan oleh karena itu kami berdua adalah sama-sama keponakan Tante Theo, karena Tante Theo adalah adik ibu saya, tetapi saya kira bukan karena kekerabatan ini maka saya ditunjuk sebagai ketua pengelola harian yayasan dan kemudian sebagai ketua yayasan. Setidaknya saya tahu bahwa Ibu Lestari tidak akan menggunakan ukuran-ukuran kekerabatan untuk menentukan posisi seseorang. Sebagaimana halnya beliau juga tidak menggunakan kesamaan keyakinan dalam memilih pengasuh. Karena pada kenyataannya kami memiliki jalan iman yang berbeda berhubung saya mengikuti jalan iman ayah saya yang kebetulan adalah seorang ustadz.

Sebetulnya dengan kuliah mengambil jurusan sekretaris, ketika masih muda saya sudah melatih diri saya untuk tampil rapi dan wangi. Bahkan saya juga suka mengenakan aksesori. Saya kira ketika muda saya suka tampil agak glamor. Suatu kali sewaktu saya di Murakabi, Pak Eddy Hidayat mengajak saya jalan-jalan untuk melihat karya Ibu Lestari. Saya tidak berpikir panjang, langsung tertarik ikut. Ternyata saya diajak ke tempat-tempat kumuh, ke kolong-kolong jembatan. Di sana saya diingatkan oleh Pak Eddy untuk melepas perhiasan saya. Saya merasa begitu malu, karena saya mengenakan pakaian yang modis. Saya merasa salah kostum, dan merasa tidak pantas.

Sesudah itu saya bergabung dengan Ibu Lestari dan bersama kolega yang masih sangat muda bernama Ningsih (yang kemudian menjadi biarawati) saya ditugaskan memantau anak-anak jalanan di lima lokasi, yaitu di Pulokandang, Kemayoran, Penas, Kalileo dan Pasar Inpres. Berdua dengan Ningsih saya mengunjungi tempat-tempat ini dengan angkot. Yang dimaksud dengan tugas memantau adalah termasuk membayar SPP ke sekolah masing-masing anak, menemani anak-anak mengerjakan PR dan belajar yang dilakukan di bawah pohon. Memang tidak ada tempat khusus, misalnya ruang belajar, melainkan di sembarang tempat yang memungkinkan. Maklum, lima lokasi ini adalah wilayah pemukiman kumuh. Waktu itu, Pasar Inpres di Senen adalah daerah yang paling rawan. Banyak penjudi, banyak orang mabuk, ada yang ngepil, banyak kekerasan, bahkan ada juga kasus pembunuhan di sana. Dengan kondisi lapangan seperti itu, Pak Eddy menyarankan lebih baik saya mengenakan jilbab.

Ketika pertama kali harus ikut rapat dengan anak-anak jalanan, saya sempat terkaget-kaget. Karena Pak Eddy mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bikin saya syok.

“Kamu masih nyopet? Nyopet dimana?”

Suatu kali saya sempat juga merasa gentar, yaitu ketika harus tinggal bersama dalam satu rumah di Pedongkelan dengan sekitar 15 anak jalanan. Sebetulnya mereka tak bisa dibilang anak, karena semuanya sudah cukup dewasa, dan semuanya adalah kaum pria. Pernah di rumah itu saya menyaksikan laki-laki terkapar dengan luka tembak. Lagi pula ini sungguh bukan pekerjaan yang mudah, mengingat remaja jalanan punya karakter pemberang.

Di malam puasa pertama saya tak punya cukup nyali untuk ke luar dari kamar.
“Tok-tok-tok….” Terdengar pintu kamar diketuk. Saya merasa gentar. Tetapi suara ketukan terdengar kembali. Ketika saya buka, ternyata saya dipersilahkan makan. Hidangan sahur sudah tersedia. Dibuatkan oleh anak-anak itu…. Mereka sebetulnya anak-anak yang baik. Bahkan ada yang mengajaknya berangkat taraweh bersama.

Saya bergabung di Aulia Jogja tahun 1999, ketika anak saya – Zaki – belum berumur dua tahun dan saya sudah menjadi single mom karena ayah Zaki meninggal. Waktu itu saya di Samirono bersama anak-anak kecil, sementara anak-anak yang lebih besar di Iromejan bersama Bu Thres. Lantas ketika kontrak di Samirono 11A, saya bertanggung-jawab atas 29 anak.

Kami dulu mendapatkan pembekalan secara langsung dari Ibu Lestari. Seminggu dua kali kami bertemu untuk pembekalan ini sehingga visi dan misi bisa melekat dalam jiwa kami. Misi Ibu Lestari adalah merengkuh anak-anak yang ditolak dan merasa ditolak.

Saya menaruh hormat mendalam kepada Ibu Lestari, karena beliau adalah sosok yang sangat spiritualis, yang selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran, dan tidak memikirkan diri sendiri. Dari bangun tidur beliau selalu memikirkan orang lain. Beliau juga mengajarkan keada kita bahwa dalam menjalankan pekerjaan ini harus dengan hati tulus, ikhlas, dn berpikir positif. Kita harus melakukan pekerjaan karena senang.

Saya juga sangat hormat kepada beliau karena Ibu Lestari telah mendirikan lembaga perlindungan anak dengan standar yang ternyata memenuhi standar yang ditentukan negara. Padahal Ibu Lestari mendirikan lembaga jauh sebelum pemerintah menentukan standar nasional pengasuhan anak. Itu hebatnya Ibu Lestari.

 

Kepala Keluarga

Saya akui, menjadi ibu asuh bagi anak-anak dari latar belakang yang mengenaskan bukanlah hal mudah. Ketika mereka sudah lulus sekolah dan tidak lagi tingggal di yayasan, saya toh tetap harus menjadi ibu mereka. Terlebih karena mereka terdaftar dalam kartu keluarga dimana saya adalah kepala keluarga. Ya, jumlah anak saya pernah mencapai 80 orang.

Ketika masih kecil, sebelum kami asuh, anak-anak telah memiliki pengalaman hidup dan trauma sendiri menyangkut kondisi ekonomi dengan segala implikasinya. Kami telah berusaha memenuhi hak mereka sebagai anak sebaik-baiknya. Kami berjuang agar anak-anak tumbuh sehat dan bisa mengenyam pendidikan selayaknya, sesuai kapasitas mereka. Namun ketika mereka sudah keluar dari lingkungan pengasuhan kami, kabar yang kami terima tidak semuanya menggembirakan. Ada kasus-kasus tertentu yang memprihatinkan, dimana anak kami tidak mampu hidup mandiri dan bertanggung-jawab ketika berada di luar perlindungan kami. Saat seperti itu kami, utamanya saya sebagai ketua dan kepala keluarga, harus turun tangan untuk menyentuh mereka, memeluk mereka, agar anak-anak itu tidak makin terjerumus.

Benar bahwa kejadian seperti itu bukanlah hal yang membanggakan, atau bahkan mungkin memalukan dan memprihatinkan, namun toh harus kita hadapi, harus saya hadapi. Karena mereka adalah anak-anak saya juga. Tugas seorang ibu tidak berhenti sampai seteah anaknya lulus sekolah dan meninggalkan yayasan. Juga karena tidak ada yang namanya pensiun dari status ibu.

Untuk menjaga agar jiwa saya tetap waras, maka setiap malam saya merasa perlu melakukan “pemeriksaan batin”, yaitu merefleksi semua hal pada hari itu. Itulah cara agar saya tetap waras. (nk)